Harry Potter sekarang sudah menggeser Pokemon dari khasanah candu anak-anak.
Pokemania sudah digantikan Pottermania, ini terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Mulainya memang seorang penulis Inggeris bernama Joane Kathleen Rowling (lahir 1965 di Chipping Sodburry) yang belum tenar menjadi guru bahasa Inggeris di Portugal.
Di sana ia menikah dengan wartawan bernama Jorge Arrantes dan melahirkan anak Jessica.
Belum lama anak itu lahir mereka bercerai dan Joane kembali ke Edinburg (1993) dengan anaknya dalam keadaan belum berhasil.
Belum lama ini Joane menikah lagi dengan Dr. Neil Murray.
Joane mendapat ide menulis Harry Potter pada tahun 1990 dalam perjalan kereta api dari Manchester ke London, kemudian ia ke Portugal untuk mengajar dan menulis serial Harry Potternya.
Buku pertamanya ‘Harry Potter & the Sorcerer Stone’ sekalipun semula kurang diminati penerbit akhirnya meledak di pasaran, kemudian ia menulis seri lanjutannya yaitu ‘Harry Potter & the Chamber of Secrets’, ‘Harry Potter & the Prisoner of Azkaban’, dan ‘Harry Potter & the Goblet of Fire’ (semuanya sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia).
Buku-buku yang bertema sihir yang dikenal dengan ‘The Magic of Harry Potter’ (Reader Digest, April 2001) itu ternyata kemudian menjadi best seller sehingga buku pertamanya difilmkan dan di Indonesia diputar pada bulan Desember 2001.
Baik buku maupun filmnya laku luar biasa melampaui judul-judul buku maupun film yang lagi populer, bahkan kemudian terbit juga buku berjudul ‘Magical Worlds of Harry Potter’ yang menjadi khasanah pembicaraan anak-anak, dan juga mainan, boneka dan kenang-kenangan berlogo Harry Potter.
Serial ini bercerita mengenai Harry Potter seorang anak berumur 11 tahun yang baru menyadari bakat sihir dari orang tuanya dan berteman dengan Hermione Granger dan Ron Weasley.
Kedua orang tuanya mati dibunuh oleh penyihir jahat Lord Voldermort.
Ia kemudian masuk ke sekolah penyihir Hogwarts.
Buku ini memang menarik dan membangkitkan minat baca anak-anak.
Anne Williams, wakil kepala Sekolah Dasar Christ Church ketika membacakan buku Joane yang pertama ternyata menarik minat anak-anak didiknya yang berumur awal belasan tahun itu sehingga ia menyiapkan daftar kata-kata khusus untuk membantu anak-anak membaca buku tersebut.
Anne mengemukakan bahwa buku itu menarik minat anak-anak karena buku itu menawarkan “semacam obat perangsang, intrik, sihir, dan apa yang akan terjadi kemudian’, tema-tema yang menarik hati anak remaja (Reader Digest, April 2001).
Di balik sukses penjualan buku-buku Potter yang menghasilkan generasi pottermania, Harry Potter juga merangsang timbulnya ‘potterfobia’ yang tidak kalah sengit.
Umumnya kritik yang ditujukan kepada Joane adalah bahwa ia ‘mempromosikan sihir dan satanisme kepada anak-anak’.
Kritik lain juga ditujukan karena memang film ini mengandung adegan sadisme seperti ‘pembunuhan’, ‘balas dendam’, ‘hantu yang memenggal kepala’, ‘mahluk dementor yang menghisap jiwa hingga yang dihisap hidup tidak matipun tidak’ dan lain-lainnya.
Dari sikap ini timbul juga usul dari para potterfobia untuk melarang bahkan memboikot film yang dianggap mempromosikan setan dan sadisme itu, namun para pottermania sebaliknya menganggap film ini bagus membangkitkan minat baca, mendorong banyak akal, membangkitkan keberanian dan pujian lainnya.
Pengaruh film ‘sihir’ ini memang luar biasa dan sudah ‘menyihir’ jutaan orang sedunia.
Dua pertiga penonton film Harry Potter adalah anak-anak dan sepertiganya orang dewasa, jadi cerita Harry Potter memenuhi minat semua generasi.
Harian Media Indonesia memberi ulasan berjudul ‘Ledakan Sapu Terbang Harry Potter’ (25 November 2001) sedangkan Suara Pembaharuan Daily menulis ‘Harry Potter, Penyihir yang Dikagumi Dunia’ (16 Desember 2001).
Memang kritik bahwa film ini mempromosikan sihir tidak seluruhnya salah, namun dampak serial Harry Potter bukan itu saja sebab film ini sekaligus mengubah persepsi sihir yang selama ini menyeramkan dan menjadikannya teman baik buat anak-anak kecil.
Suara Pembaharuan Daily menyebutkan:
“Dulu imajinasi anak-anak mengenai dunia penyihir dibangun lewat dongeng yang menggambarkan sosok penyihir tua – umumnya nenek-nenek – berwajah rusak, berpunggung bungkuk, hidung bengkok, mengenakan jubah hitam, dan naik sapu terbang.
Sosok penyihir tersebut dibangun untuk dimusnahkan.
Tetapi, kini, nyaris semua anak di dunia mengidolakan sosok penyihir bernama Harry Potter.
Gambaran penyihir sosok buruk rupa berubah menjadi sosok yang manusiawi ke dalam sosok anak remaja berumur 11 tahun bertampang innocent yang selalu tampil berkaca mata bulat, rambut acak-acakan, dan sesekali menampakkan bekas luka seperti halilintar di dahinya.”
Dapat dimaklumi kekuatiran orang tua dan pendidik mengenai pergeseran paradigma mengenai dunia sihir itu yang dahulu oleh para penulis cerita digambarkan sebagai menakutkan sehingga perlu dihindari, tetapi dengan suatu gambaran yang salah (seperti nenek sihir, seharusnya dijelaskan dalam konteks firman Allah), namun sekarang sebaliknya malah digambarkan dengan segala keramahannya (dibalik sadismenya yang terselubung) agar dicintai anak-anak yang lebih salah lagi.
Sebenarnya film-film anak-anak sejak dulu baik serial HC Andersen maupun Grims mengandung figur si nenek sihir dan dunia peri, tetapi mengapa baru sekarang banyak orang menyadari bahaya film sihir Harry Potter?
Banyak argumentasi dikemukakan bahwa orang tua yang dahulu biasa nonton film-film sihir dan peri toh tidak apa-apa sekarang ketika menjadi orang tua.
Argumentasi demikian rasanya terlalu optimis, sebab akibat film-film anak-anak demikian di Eropah dan Amerika terlihat bahwa kekristenan sangat merosot dan keterbukaan orang ke dunia sihir makin besar dan menganggapnya biasa.
Bagi umat Kristen tentu yang harus difikirkan adalah bergesernya khasanah istilah dalam benak anak-anak.
Kalau anak-anak yang biasa rajin mengikuti sekolah minggu biasa memikirkan tentang Tuhan Yesus, Doa, Cinta, dan Damai, sekarang berubah memikirkan Penyihir, Mantra/Jampi-Jampi, Kutuk, dan Balas Dendam.
Suatu pergeseran ‘pandangan hidup’ yang kelak akan mewarnai iman dan watak si anak.
Memang melarang pada masakini akan semakin sulit dan sering tidak bijak, namun membiarkan lebih tidak bijaksana.
Ada yang memutar film Harry Potter di gerejanya dengan alasan agar bisa membimbing mereka.
Ini suatu perilaku yang mengundang resiko, soalnya sekalipun kita melarang anak menonton film demikian, anak-anak pasti ada yang menonton di luar pengawasan orang tua, namun jelas tidak semua anak-anak melakukan itu.
Sebaliknya kalau film itu diputar di gereja, malah mendorong anak-anak melihat dan berapa persen bimbingan baik yang masuk ke benak anak dibandingkan adegan dan pesan film yang buruk yang mempengaruhi benaknya melalui liberalisasi keterbukaan itu?
Penulis pernah pergi ke Citramal di Jakarta dan melihat seorang anak menyeret ibunya minta dibelikan boneka robot yang penampilannya mengerikan.
Anak itu (yang kemungkinan besar Kristen) berseru “Ma ... beliin Iblis” sambil menyeret ibunya masuk ke toko ‘play stasion’ itu.
Dan apa jawab si ibu? “Berapa ... berapa!” sambil mengikuti si anak.
Suatu pergeseran pandangan dimana ‘Iblis’ sekarang dianggap teman dan patut dijadikan teman di kamar.
Cara terbaik bukan melarang, tetapi memberikan bimbingan kepada anak dan menceritakan aspek-aspek baik buruk dari film-film demikian dan selanjutnya mendorong anak-anak bersikap mandiri dalam menghindari pengaruh-pengaruh mass media yang buruk berlandaskan firman Tuhan.
Pengalihan perhatian dengan lebih banyak mengajak anak-anak melakukan kegiatan di luar rumah sangat banyak membantu dikuasainya pikiran anak-anak oleh mass media yang belakangan ini cenderung berat sebelah meng-ekspos satanisme, sadisme, dan pornografi.
Kita perlu menyadari bahwa setiap adegan visual yang dilihat akan berdampak bagi anak. H.J. Eysenck dan D.K.B. Nias dalam laporan studi yang mendalam atas gejala kekerasan dan kejahatan berjudul ‘Sex Violence and the Media’ dan yang kemudian dibukukan menyebutkan bahwa:
“media dalam kenyataannya mendatangkan dampak atas suasana perilaku, penampilan dan mental para pemirsa dan pembacanya.”
Hasil penelitian pesanan Departemen Pendidikan Amerika Serikat pada tim ahli jiwa itu menunjukkan bahwa angka-angka kriminalitas yang tinggi di negara itu ikut ditingkatkan oleh adanya adegan-adegan kekerasan dan sadisme dalam tayangan TV.
Beberapa hasil studi penelitian itu menunjukkan bahwa ‘perilaku baru’ yang terus berkembang diikuti oleh anak-anak setelah mereka melihat dan menjadi penggemar tokoh-tokoh tertentu, dimulai dengan IMITASI dimana anak meniru adegan yang dilihatnya, ini meningkat menjadi IDENTIFIKASI dimana anak bukan saja meniru tetapi menyamakan diri dengan tokoh yang dilihatnya.
Ini kemudian meningkat lagi kearah RUNTUHNYA KENDALI DIRI dimana rem-rem hasil pendidikan dan kerohanian menjadi runtuh, akibatnya anak akan mengalami STIMULASI yaitu rangsangan perilaku, dan bila pengaruhnya terus menerus anak dapat mengalami KATARSIS dimana ia meluapkan seluruh emosi dan perilakunya menyatukan diri dengan emosi dan perilaku tokoh yang diidolakan.
Berdasarkan kenyatan itu sebaiknyalah para pembimbing Kristen dan orang tua berhati-hati akan bacaan dan film yang dilihat anaknya agar pikiran anak tidak terkontaminasi oleh hal-hal sihir dan okultisme yang tidak memuliakan Allah, melainkan agar mereka memikirkan Allah dan kebenarannya.
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu .... Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.” (Filipi 4:8)
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." (Amsal 22:6)
oleh : Pdt ir Herlianto
oleh : Pdt ir Herlianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar